Kemarin untuk pertama kali nya saya pergi bioskop untuk nonton film pada jam tayang diatas jam 19.00,, tak beruntung bagi saya -karena salah melihat jadwal- akhirnya saya dan teman saya yang berencana nonton pada jam tayang 20.05 harus menerima kenyataan, mau tidak mau, suka tidak suka (lebay ya) harus nonton pada jam 20.45 yang artinya dengan durasi sekitar 120 menit,, film baru akan berakhir sekitar jam 22.30 dan itu artinya saya baru akan sampai dirumah jam 23.00 (oh Tuhan,, maafkan hambamu ini *hehe ,, dan semoga orang rumah ga bingung nyariin) . Dengan pengorbanan begitu besar (versiku) tentu saya sangat berharap film ini tidak mengecewakan,, ahh semoga saja !
Sebagai penikmat Film yang ga sabaran,, saya tentu menunggu dengan harap-harap cemas klimaks dari Film yang di persembahkan atas kerjasama PT.Newmount Nusa Tenggara dengan Alenia Production ini,, karena setelah hampir 1,5 jam berselang,, Film ini belum menunjukkan tanda-tanda akan menuju klimaksnya,, untung nya dengan sinematografi yang baik, film yang berlatar bumi Sumbawa ini memanjakan penonton nya dengan panorama-panorama indah perbukitan dan pedesaan di sepanjang film berlangsung jadi saya tak terlalu merasa bosan sembari menunggu klimaks cerita.
Sayang nya keindahan panorama bumi Sumbawa tak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di suatu Sekolah di Dusun Mantar, tempat tiga bocah menimba ilmu. Alkisah ada seorang bocah bernama Amek dan dua karibnya Umbe, dan Acan yang serba kekurangan dan sempat tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Hal tersebut yang membuatnya semakin tidak yakin bisa menggapai cita-citanya.
Perjuangan Amek, dan sahabat-sahabatnya yang lain dalam meraih cita-cita tidak se
mulus yang dibayangkan. Beberapa kali tidak lulus Ujian Nasional, namun tidak sampai membuat mereka putus asa meskipun disekolah mereka sering mendapat hukuman-hukuman fisik karena beberapa ulah yang mereka lakukan.
Beberapa diantaranya bahkan menempuh cara yang tidak wajar agar bisa lulus ujian, pergi ke dukun dsb. yang menarik perhatian saya,, Amek dan teman-temannya punya tradisi unik yaitu menggantungkan secarik kertas bertuliskan cita-cita mereka kemudian dimasukkan ke dalam botol dan digantungkan di dahan pohon yang oleh masyarakat setempat dinamakan "Pohon Cita-cita". hmmm,, menarik menurut saya.
Berbeda dengan Amek, adalah Minun kakak Amek yang sering menjuarai lomba matematika se Kabupaten Sumbawa Barat. Sederet piala dan sertifikat berjejer diruang tamu mereka. Minun adalah ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat di Desa Mantar.cerita hampir memasuki klimaks ketika pengumuman kelulusan UN di SMP tersebut (SMP Minun &kawan2) menyebutkan bahwa tak satupun siswa nya lulus. Minun yang merasa sangat terpukul kemudian lari menuju pohon cita-cita, dimana ia dan kawan-kawan nya yang lain pernah menuliskan cita-cita nya diselembar kertas , dimasukkan ke dalam botol dan kemudian digantungkan disalah satu dahan pohon tersebut, tak ayal minun pun jatuh dan meninggal seketika. Kampungpun gempar !!
akhirnya saya pun mendapat klimaks cerita yang saya tunggu sedari tadi,,,
meskipun tak terlalu dijelaskan di Film itu mengapa kemudian si Minun yang juara matematika sampai bisa tidak lulus ujian tapi hal ini tentu menjelaskan kepada kita tentang salah satu potret buram pendidikan di Indonesia, bahwa prestasi yang diperoleh bertahun-tahun bisa jadi tak bernilai dibandingkan nilai/kesalahan teknis dalam 3-4 hari peristiwa UN.
Yang kemudian memotivasi beberapa siswa sd/smp/sma bunuh diri karena nilai yang diperoleh selama 3-4 hari di UN tsb tak cukup memadai untuk bergelar LULUS !,,
Tapi itu cerita setahun dua tahun silam,,, Diknas beserta jajarannya kemudian merivisi kebijakan baru bahwa keLULUSan tidak 100% hanya berdasarkan nilai UN, tapi 40% dari nilai UAS (kebijakan sekolah) dan 60% nilai UN. Apakah masalah selesai ? Pembaca tentu masih ingat dengan Siami dan anaknya yang mengalami kisah tragis karena ingin jujur dalam UN.
belum lagi kisah beberapa kecurangan yang lain yang diindikasi dimotivasi oleh oknum perangkat pendidikan sendiri baik kepada guru ataupun kepada murid. Guru yang ingin jujur dianggap aneh dan murid yang ingin jujur di isolasi lingkungan.
menanggapi hal ini teman saya sempat melemparkan paradoks ,, misalnya diantara 100 orang ,, 99 orang gila dan 1 orang yang waras,, siapa yang sebenarnya gila hayoo ??
melihat fenomena Siami dll,, saya sempat berdiskusi dengan diri saya sendiri,, beberapa tahun ke depan apa masih ada orang pintar dn orang jujur di Indonesia ini.
Begitu banyak yang harus dikorbankan demi predikat LULUS,,
kejujuran, kerja keras, nurani kemanusiaan dll.
ahhh, bukankah sudah saatnya para pembuat kebijakan bertanya pada nurani mereka sendiri,, sampai kapan rakyat sebagai sang penerima kebijakan ini harus menjadi korban trial en error!
No comments:
Post a Comment